Aku masih ingat
senyum, gaya bicara, bahkan ekspresi wajah kesalnya saat aku dengan sengaja
menyembunyikan kunci motornya. Aku masih ingat bagaimana dengan setia dia
membantuku menyelesaikan setiap tugas-tugasdari guru komputerku. Semua terasa
begitu nyata, meskipun sudah hampir empat tahun, dia sama sekali tidak
menyapaku. Hanya sesekali dia hadir dalam tidur malamku untuk mengobati rasa
rinduku.
Pernah suatu malam, saat
semua orang di rumahku terlelap, dia
hadir untuk yang kesekian kalinya dengan senyum yang begitu indah.Aku pikir itu
adalah saat yang tepat untuk melepas rinduku padanya. Namun dia sepertinya
enggan berbicara. Dia hanya kembali tersenyum kemudian pergi meninggalkanku.
“Ini, untukmu,” suara itu tiba-tiba saja menarikku kembali
pada duniaku yang sesungguhnya. Dunia dimana aku harus tetap melangkah ke masa
depan. Aku menoleh ke arah seorang laki-laki yang telah menjadi sahabat baikku itu.
Agus, aku biasa menyapanya demikian. Dia menyodorkan sebuah map biru ke arahku.
Aku tidak langsung mengambil kertas itu. Aku hanya memandanginya sejenak,
kemudian mengalihkan pandangan ke sisi lain dari tempat ini.
“Sampai kapan?,” tanyanya lagi.
Aku hanya terdiam. Lebih tepatnya aku tidak tahu bagaimana harus menjawab
pertanyaannya itu. “Jika terus seperti ini,
kau tidak hanya memgecewakanku, tapi juga semua orang yang mendukungmu.
Keluarga, sahabat-sahabat bahkan guru-gurumu,”lanjutnya, membuat aku semakin
terpojok. Apa yang harus aku lakukan? Haruskah aku mengambilnya dari tangan
Agus, menulis biodataku sesuai format yang telah tersedia, kemudian memainkan
jari-jemariku di atas keyboard notebook?
Mampukah aku menuangkan apa yang ada di pikiranku saat dia kembali hadir dalam
ingatanku.
“Rieta, dia sangat
menyanyangimu. Tidakkah kau sadar bahwa keputusanmu dapat menjadi bukti bahwa
kau juga menyanyanginya?”
Deg! Entah karena apa,
pertanyaan Agus yang sangat lembut itumembuat aku seperti kehilangan kemampuan
untuk bernafas. Benarkah keputusan yang aku ambil? Benarkah aku dapat membuat
banyak orang bahagia jika aku ma menerima tawaran Agus? Pertanyaan-pertanyaan itu berkecamuk di dalam
diriku. Kembali terlintas dalam benakku, sosok seorang kakak yang sangat aku
sayangi.
Dulu, dia pernah mengatakan padaku suatu hari
kelak dia akan berdiri di depan ruangan kelas sebagai guruku. Dia ingin suatu
saat dapat terus mengawasi dan menjagaku di masa remajaku. Betapa bahagianya
aku saat itu. Maka, dengan yakin pula
aku mengatakan padanya bahwa aku menitipkan mimpi yang sama pada sang waktu.
Suatu saat, aku dan dia akan mengajar bersama, membagikan ilmu yang kami miliki
kepada orang lain. Pasti keluarga kami akan sangat bahagia melihat kami bisa
melayani orang lain dengan penuh sukacita. Namun sayang, semua mimpi-mimpi
indah itu tidak akan pernah menjadi kenyataan.
Dia, kakak sepupu yang aku
cintai, pergi meninggalkan dunia untuk selama-lamanya. Kecelakaan maut 4 tahun
yang lalu, telah merenggut segalanya.
Cinta darinya, juga mimpi-mimpi kami. Kini, aku sedang bergumul dengan
kenyataan yang ada di hadapanku. Agus datang, membawakanku selembar formulir
pendaftaran lomba menulis di salah satu Universitas ternama di kota ini. Jika
aku memenangkan lomba itu, aku memiliki satu tiket untuk belajar disana sebagai
calon guru, sama seperti apa yang aku dan kakakku cita-citakan. Namun hingga
kini aku tidak memiliki keberanian untuk mengisi kolom-kolom kosong dalam
formulir itu. Aku merasa tidak mampu menapaki mimpi itu seorang diri tanpa
kakakku. Di sisi lain, aku pun tidak ingin melihat orang-orang di sekitarku
kecewa.
“Ta, tidak waktu
lagi. Keputusanmu?,” Agus kembali melontarkan pertanyaan padaku, berusaha
mencari kepastian. Aku diam, menghela nafas dalam-dalam.
“Sepertinya aku
tidak bisa,”jawabku pelan. Agus tampak begitu kecewa. “Sepertinya aku tidak
bisa membuat orang-orang yang menyayangiku,”kataku lagi seraya melukiskan
senyum di wajahku. Agus tersetak. Mungkin saat ini dia tengah berbahagia atau
bahkan tidak percaya dengan apa yang baru saja aku katakan.
“Jadi...?,”
“Jadi, jangan membuang waktu
lagi,”sahutku seraya menyambar map biru itu. Aku harus menatap apa yang ada di
depanku. Aku akan berusaha melakukan yang terbaik. Bagaimanapun, ini untukmu,
kakakku dan juga untuk semua orang yang menyanyangiku.