Kamis, 01 Desember 2011

Ini, Untukmu

Aku masih ingat senyum, gaya bicara, bahkan ekspresi wajah kesalnya saat aku dengan sengaja menyembunyikan kunci motornya. Aku masih ingat bagaimana dengan setia dia membantuku menyelesaikan setiap tugas-tugasdari guru komputerku. Semua terasa begitu nyata, meskipun sudah hampir empat tahun, dia sama sekali tidak menyapaku. Hanya sesekali dia hadir dalam tidur malamku untuk mengobati rasa rinduku.
Pernah suatu  malam, saat  semua  orang di rumahku terlelap, dia hadir untuk yang kesekian kalinya dengan senyum yang begitu indah.Aku pikir itu adalah saat yang tepat untuk melepas rinduku padanya. Namun dia sepertinya enggan berbicara. Dia hanya kembali tersenyum kemudian pergi meninggalkanku.
                “Ini, untukmu,”  suara itu tiba-tiba saja menarikku kembali pada duniaku yang sesungguhnya. Dunia dimana aku harus tetap melangkah ke masa depan. Aku menoleh ke arah seorang laki-laki yang telah menjadi sahabat baikku itu. Agus, aku biasa menyapanya demikian. Dia menyodorkan sebuah map biru ke arahku. Aku tidak langsung mengambil kertas itu. Aku hanya memandanginya sejenak, kemudian mengalihkan pandangan ke sisi lain dari tempat ini.
                “Sampai kapan?,” tanyanya lagi. Aku hanya terdiam. Lebih tepatnya aku tidak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaannya itu. “Jika terus seperti ini,  kau tidak hanya memgecewakanku, tapi juga semua orang yang mendukungmu. Keluarga, sahabat-sahabat bahkan guru-gurumu,”lanjutnya, membuat aku semakin terpojok. Apa yang harus aku lakukan? Haruskah aku mengambilnya dari tangan Agus, menulis biodataku sesuai format yang telah tersedia, kemudian memainkan jari-jemariku di atas keyboard notebook? Mampukah aku menuangkan apa yang ada di pikiranku saat dia kembali hadir dalam ingatanku.
                “Rieta, dia sangat menyanyangimu. Tidakkah kau sadar bahwa keputusanmu dapat menjadi bukti bahwa kau juga menyanyanginya?”
                Deg! Entah karena apa, pertanyaan Agus yang sangat lembut itumembuat aku seperti kehilangan kemampuan untuk bernafas. Benarkah keputusan yang aku ambil? Benarkah aku dapat membuat banyak orang bahagia jika aku ma menerima tawaran Agus?  Pertanyaan-pertanyaan itu berkecamuk di dalam diriku. Kembali terlintas dalam benakku, sosok seorang kakak yang sangat aku sayangi.
 Dulu, dia pernah mengatakan padaku suatu hari kelak dia akan berdiri di depan ruangan kelas sebagai guruku. Dia ingin suatu saat dapat terus mengawasi dan menjagaku di masa remajaku. Betapa bahagianya aku saat itu. Maka, dengan  yakin pula aku mengatakan padanya bahwa aku menitipkan mimpi yang sama pada sang waktu. Suatu saat, aku dan dia akan mengajar bersama, membagikan ilmu yang kami miliki kepada orang lain. Pasti keluarga kami akan sangat bahagia melihat kami bisa melayani orang lain dengan penuh sukacita. Namun sayang, semua mimpi-mimpi indah itu tidak akan pernah menjadi kenyataan.
                Dia, kakak sepupu yang aku cintai, pergi meninggalkan dunia untuk selama-lamanya. Kecelakaan maut 4 tahun yang lalu, telah merenggut segalanya.  Cinta darinya, juga mimpi-mimpi kami. Kini, aku sedang bergumul dengan kenyataan yang ada di hadapanku. Agus datang, membawakanku selembar formulir pendaftaran lomba menulis di salah satu Universitas ternama di kota ini. Jika aku memenangkan lomba itu, aku memiliki satu tiket untuk belajar disana sebagai calon guru, sama seperti apa yang aku dan kakakku cita-citakan. Namun hingga kini aku tidak memiliki keberanian untuk mengisi kolom-kolom kosong dalam formulir itu. Aku merasa tidak mampu menapaki mimpi itu seorang diri tanpa kakakku. Di sisi lain, aku pun tidak ingin melihat orang-orang di sekitarku kecewa.
“Ta, tidak waktu lagi. Keputusanmu?,” Agus kembali melontarkan pertanyaan padaku, berusaha mencari kepastian. Aku diam, menghela nafas dalam-dalam.
“Sepertinya aku tidak bisa,”jawabku pelan. Agus tampak begitu kecewa. “Sepertinya aku tidak bisa membuat orang-orang yang menyayangiku,”kataku lagi seraya melukiskan senyum di wajahku. Agus tersetak. Mungkin saat ini dia tengah berbahagia atau bahkan tidak percaya dengan apa yang baru saja aku katakan.
                “Jadi...?,”
                “Jadi, jangan membuang waktu lagi,”sahutku seraya menyambar map biru itu. Aku harus menatap apa yang ada di depanku. Aku akan berusaha melakukan yang terbaik. Bagaimanapun, ini untukmu, kakakku dan juga untuk semua orang yang menyanyangiku.

Deanitha Rizky